Terapi Ruqyah Syar’i
Penulis: Ummu Mu’aadz
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Saudara/i ku yang dirahmati Allah, saat ini, sering kali kita
mendengar terapi pengobatan ruqyah namun pengertian yang terlintas
dibenak kita adalah terapi untuk mengusir gangguan jin. Hal ini adalah pendapat
keliru dan salah kaprah dikalangan masyarakat saat ini. Padahal, ruqyah
yang sesuai syar’i adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
disyari’atkan untuk dilakukan bagi setiap muslim pertama kali saat dirinya
merasa sakit, baik sakit fisik maupun karena gangguan jin.
Apa itu Ruqyah ?
Ruqyah (dengan huruf ra’ di dhammah) adalah yaitu bacaan untuk pengobatan
syar’i (berdasarkan riwayat yang shahih atau sesuai ketentuan ketentuan yang
telah disepakati oleh para ulama) untuk melindungi diri dan untuk mengobati
orang sakit. Bacaan ruqyah berupa ayat ayat al-Qur’an dan doa doa yang telah
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak diragukan lagi, bahwa penyembuhan dengan Al-Qur’an
dan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa
ruqyah merupakan penyembuhan yang bermanfaat sekaligus penawar yang sempurna
bagi penyakit hati dan fisik dan bagi penyakit dunia dan akhirat. Bagaimana
mungkin penyakit itu mampu melawan firman-firman Rabb bumi dan langit yang jika
firman-firman itu turun ke gunung maka ia akan memporakporandakan gunung
gunung. Oleh karena itu tidak ada satu penyakit hati maupun penyakit fisik
melainkan ada penyembuhnya.
Allah berfirman, “Katakanlah, ‘AlQur’an itu adalah
petunjuk dan penawar bagi orang orang yang beriman.’” (Qs. Fushilat: 44)
Dan di surah Al Isra’ 82, “Dan Kami turunkan dari
Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang orang yang
beriman.”
Dan di surat
Yunus ayat 57, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada
kalian pelajaran dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit penyakit
(yang berada) didalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.” (Qs. Yunus: 57)
Pada masa jahiliyah, telah dikenal pengobatan ruqyah. Namun
ruqyah kala itu banyak mengandung kesyirikan. Misalnya menyandarkan diri kepada
sesuatu selain Allah, percaya kepada jin, meyakini kesembuhan dari benda benda
tertentu, dan lainnya. Setelah Islam datang, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang ruqyah kecuali yang tidak mengandung
kesyirikan,
‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Dahulu
kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’
Beliau menjawab, ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah
kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik’.” (HR.
Muslim no. 2200)
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Hadits
menunjukkan bahwa hukum asal seluruh ruqyah adalah dilarang, sebagaimana yang
tampak dari ucapannya: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
dari segala ruqyah.’ Larangan terhadap segala ruqyah itu berlaku secara mutlak.
Karena di masa jahiliyyah mereka meruqyah dengan ruqyah-ruqyah yang syirik dan
tidak bisa dipahami maknanya. Mereka meyakini bahwa ruqyah-ruqyah itu
berpengaruh dengan sendirinya. Ketika mereka masuk Islam dan hilang dari diri
mereka yang demikian itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
mereka dari ruqyah secara umum agar lebih mantap larangannya dan lebih menutup
jalan (menuju syirik). Selanjutnya ketika mereka bertanya dan mengabarkan
kepada beliau bahwa mereka mendapat manfaat dengan ruqyah-ruqyah itu, beliau
memberi keringanan sebagiannya bagi mereka. Beliau bersabda, ‘Perlihatkan
kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa menggunakan ruqyah-ruqyah selama
tidak mengandung syirik’.
Mencegah Lebih Baik dari Mengobati
Saudariku, sesungguhnya syari’at Islam telah sempurna sehingga tidak ada hal
melainkan sudah ada keterangannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena itu, Allah telah mengabarkan apa apa yang baik bagi seorang
hamba dan apa apa yang mesti ditinggalkan dengan segala hikmah yang kita
ketahui maupun yang tidak kita ketahui.
Diantara apa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yaitu berdzikir mengingat
Allah dalam setiap keadaan, dzikir pagi dan petang hari, ketika hendak
tidur, ketika masuk dan keluar rumah, saat memakai baju, dan lainnya
hingga tidur lagi. Jika kita selalu menjaga dzikir dzikir ini pada waktunya,
niscaya ia akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, mencegah segala
keburukan, mendatangkan berbagai manfaat dan menolak datangnya bahaya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika Allah akan
memberi kunci kepada seorang hamba, berarti Allah akan membukakan (pintu
kebaikan) kepadanya dan jika seseorang disesatkan Allah, berarti ia akan
tetap berada di muka pintu tersebut.” Bila seseorang tidak dibukakan
hatinya untuk berdoa dan berdzikir, maka hatinya selalu bimbang, perasaannya
gundah gulana, pikiran kalut, gelisah hasrat dan keinginannya menjadi lemah.
Namun bila seorang hamba selalu berdoa dan berdzikir memohon perlindungan
kepada Allah dari berbagai keburukan, niscaya hatinya menjadi tenang karena
ingat kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (Qs. Ar Ra’d: 28)
Doa dan dzikir yang dilaksanakan seharusnya adalah doa dan
dzikir yang ada tuntunannya dari Rasulullah. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Dzikir yang paling baik dan
paling bermanfaat adalah doa dan dzikir yang diyakini dengan hati, diucapkan
dengan lisan, dilaksanakan dengan konsisten dari doa dan dzikir yang
dicontohkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta orang
yang melakukannya memahami makna dan maksud yang terkandung didalamnya.”
Seorang muslim seharusnya menjaga diri semaksimal mungkin
dengan hal hal yang telah disyari’atkan Allah Ta’ala yaitu menjaga AllahTa’ala
dengan benar benar mengikhlaskan diri dalam mentauhidkan-Nya, senantiasa bertaqwa,
senantiasa berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, menjauhi bid’ah dan menyelisihi pada pengikut hawa nafsu.
Pada artikel selanjutnya insya Allah akan dijelaskan
tentang tahap-tahap meruqyah, insya Allah.
Sumber:
Doa dan Wirid, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz
Doa doa Ruqyah ,Dr.Khalid bin Abdurrahman al-Jarisi
Tata Cara Ruqyah Yang Benar
Ruqyah bukan pengobatan alternatif. Justru seharusnya menjadi pilihan pertama
pengobatan tatkala seorang muslim tertimpa penyakit. Sebagai sarana
penyembuhan, ruqyah tidak boleh diremehkan keberadaannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya meruqyah
termasuk amalan yang utama. Meruqyah termasuk kebiasaan para nabi dan orang-orang
shalih. Para nabi dan orang shalih senantiasa
menangkis setan-setan dari anak Adam dengan apa yang diperintahkan Allah dan
RasulNya”. [1]
Karena demikian pentingnya penyembuhan dengan ruqyah ini, maka setiap kaum
Muslimin semestinya mengetahui tata cara yang benar, agar saat melakukan ruqyah
tidak menyimpang dari kaidah syar’i.
Tata cara meruqyah adalah sebagai berikut:
1. Keyakinan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah.
2. Ruqyah harus dengan Al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah,
dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat dipahami.
3. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah saat membaca dan
berdoa.
4. Membaca Surat Al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga
membaca surat
Al Falaq, An Naas, Al Ikhlash, Al Kafirun. Dan seluruh Al Qur’an, pada dasarnya
dapat digunakan untuk meruqyah. Akan tetapi ayat-ayat yang disebutkan
dalil-dalilnya, tentu akan lebih berpengaruh.
5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al Qur’an dan doa yang sedang
dibaca.
6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang
berupa ayat Al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Supaya penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai
dengan syariat.
7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah.
Masalah ini, menurut Syaikh Al Utsaimin mengandung kelonggaran. Caranya, dengan
tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. ‘Aisyah pernah ditanya tentang
tiupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meruqyah. Ia menjawab: “Seperti
tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR
Muslim, kitab As Salam, 14/182). Atau tiupan tersebut disertai keluarnya
sedikit air ludah sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As
Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan: “Maka aku
membacakan Al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku
menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah
lepas dari sebuah ikatan”. [HR Abu Dawud, 4/3901 dan Al Fathu Ar Rabbani,
17/184].
8. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya, tidak masalah.
Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun. Disebutkan dalam
hadits Malik bin Rabi’ah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
كُلُوْا الزَيْتَ وَ ادَّهِنُوا بِهِ فَإنَهُ
مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَة
"Makanlah minyak zaitun , dan olesi tubuh dengannya. Sebab ia berasal dari
tumbuhan yang penuh berkah".[2]
9. Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah,
ia berkata: “Rasulullah, tatkala dihadapkan pada seseorang yang mengeluh
kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan…”. [HR Muslim, Syarah An
Nawawi (14/180].
Imam An Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengusap orang
yang sakit dengan tangan kanan dan mendoakannya. Banyak riwayat yang shahih
tentang itu yang telah aku himpun dalam kitab Al Adzkar”. Dan menurut Syaikh Al
‘Utsaimin berkata, tindakan yang dilakukan sebagian orang saat meruqyah dengan
memegangi telapak tangan orang yang sakit atau anggota tubuh tertentu untuk
dibacakan kepadanya, (maka) tidak ada dasarnya sama sekali.
10. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang
dikeluhkan seraya mengatakan بِسْمِ الله (Bismillah, 3 kali).
أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ
وَ أحَاذِرُ
"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang
aku jumpai dan aku takuti".[3]
Dalam riwayat lain disebutkan “Dalam setiap usapan”. Doa tersebut diulangi
sampai tujuh kali.
Atau membaca :
بِسْمِ الله أعُوذُ بِعزَِّةِ الله وَ قُدْرَتِهِ
مِنْ شَر مَا أجِدُ مِنْ وَجْعِيْ هَذَا
"Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap
kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini".[4]
Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak
tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[5]
11. Bila penyakit terdapat di salah satu bagian tubuh, kepala, kaki atau tangan
misalnya, maka dibacakan pada tempat tersebut. Disebutkan dalam hadits Muhammad
bin Hathib Al Jumahi dari ibunya, Ummu Jamil binti Al Jalal, ia berkata: Aku
datang bersamamu dari Habasyah. Tatkala engkau telah sampai di Madinah semalam
atau dua malam, aku hendak memasak untukmu, tetapi kayu bakar habis. Aku pun
keluar untuk mencarinya. Kemudian bejana tersentuh tanganku dan berguling
menimpa lenganmu. Maka aku membawamu ke hadapan Nabi. Aku berkata:
“Kupertaruhkan engkau dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, ini Muhammad bin
Hathib”. Beliau meludah di mulutmu dan mengusap kepalamu serta mendoakanmu.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih meludahi kedua tanganmu seraya
membaca doa:
أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ
أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا
شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
"Hilangkan penyakit ini wahai Penguasa manusia. Sembuhkanlah, Engkau Maha
Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali penyembuhanMu, obat yang tidak
meninggalkan penyakit"[6].
Dia (Ummu Jamil) berkata: “Tidaklah aku berdiri bersamamu dari sisi Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali tanganmu telah sembuh”.
12. Apabila penyakit berada di sekujur badan, atau lokasinya tidak jelas,
seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan
membacakan ruqyah di hadapan penderita. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit.
Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ubay bin K’ab , ia berkata: “Dia
bergegas untuk membawanya dan mendudukkannya di hadapan Beliau Shallallahu
'alaihi wa salla,m . Maka aku mendengar Beliau membentenginya (ta’widz) dengan surat Al Fatihah”.[7]
Apakah ruqyah hanya berlaku untuk penyakit-penyakit yang disebutkan dalam nash
atau penyakit secara umum? Dalam hadits-hadits yang membicarakan terapi ruqyah,
penyakit yang disinggung adalah pengaruh mata yang jahat (‘ain), penyebaran
bisa racun (humah) dan penyakit namlah (humah). Berkaitan dengan masalah ini,
Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: “Maksudnya, ruqyah bukan
berarti hanya dibolehkan pada tiga penyakit tersebut. Namun maksudnya bahwa
Beliau ditanya tentang tiga hal itu, dan Beliau membolehkannya. Andai ditanya
tentang yang lain, maka akan mengizinkannya pula. Sebab Beliau sudah memberi
isyarat buat selain mereka, dan Beliau pun pernah meruqyah untuk selain tiga
keluhan tadi”. (Shahih Muslim, 14/185, kitab As Salam, bab Istihbab Ar Ruqyah
Minal ‘Ain Wan Namlah).
Demikian sekilas cara ruqyah. Mudah-mudahan bermanfaat. (Red).
Maraji` :
1. Risalatun Fi Ahkami Ar Ruqa Wa At Tamaim Wa Shifatu Ar Ruqyah Asy
Syar’iyyah, karya Abu Mu’adz Muhammad bin Ibrahim. Dikoreksi Syaikh Abdullah
bin Abdur Rahman Jibrin.
2. Kaifa Tu’aliju Maridhaka Bi Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Abdullah bin
Muhammad As Sadhan, Pengantar Syaikh Abdullah Al Mani’, Dr Abdullah Jibrin, Dr.
Nashir Al ‘Aql dan Dr. Muhammad Al Khumayyis, Cet X, Rabi’ul Akhir, Tahun
1426H.
Ruqyah Yang Keliru
Kebenaran ruqyah sebagai pengobatan sudah dibuktikan oleh para ulama dahulu.
Adapun pada masa sekarang ini (dan juga masa sebelumnya), praktek pengobatan
yang dianjurkan oleh Sunnah Nabi ini, nampak mengalami beberapa pergeseran tata
cara dan tujuan. Terjadinya pergeseran ini, disamping telah menimbulkan
kesalahan persepsi tentang ruqyah, juga memunculkan adanya kekhawatiran
menyangkut masalah aqidah.
Penyimpangan yang terjadi, di antaranya berpangkal dari dual hal. Pertama, buta
atau kurang memahami permasalahan agama. Kedua, membenarkan bualan jin yang
merasuki badan seseorang. Misalnya, jin tersebut melontarkan nasihat kepada
orang yang akan mengobati, dengan mengatakan –misalnya- kondisi penderita ini
demikian, bacalah ayat ini ayat itu, atau tulislah Al Qur’an dengan cara
tertentu kemudian lakukan ini itu. Dari sini, kemudian sang terapis menuruti
petunjuk jin yang banyak menjerumuskan orang-orang ke jurang perbuatan haram.
Berikut kami sebutkan di antara kekeliruan dalam praktek ruqyah.
1. Mengajak Jin Untuk Berkomunikasi Dan Membenarkan Ocehannya.
Sering terjadi adanya komunikasi dengan jin dan melontarkan pertanyaan
kepadanya tentang banyak permasalahan. Baik tentang nama, umurnya dan
keyakinannya. Orang-orang pun mudah mempercayainya. Fenomena ini hanya akan
mengantarkan manusia menuju kerusakan dan pelanggaran. Orang-orang seolah
melupakan bahwa jin bukan sumber talaqqi ilmu. Sebab kedustaanlah yang
mendominasi sepak terjang jin. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam kepada Abu Hurairah: “Dia (saat ini) jujur kepadamu, tetapi ia
makhluk yang pendusta”.
Praktek seperti di atas mengandung unsur pelanggaran terhadap petunjuk Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani berkata: Dahulu, orang-orang
yang menangani ruqyah di hadapan orang kesurupan, hanyalah ditangani beberapa
individu yang shalih dengan jumlah tidak banyak. Sedangkan sekarang ini, jumlah
mereka ratusan orang. Bahkan termasuk juga sekumpulan wanita mutabarrijah
(pesolek). Akibatnya praktek ini menyimpang dari statusnya sebagai sarana
pengobatan syar’i – yang hanya dilakukan oleh para ahlinya- berubah menjadi
fenomena dan sarana kehidupan yang tidak dikenal syariat ataupun ilmu kedokteran
sekaligus. Justru menurutku termasuk praktek dajl (kedustaan) dan bisikan setan
kepada musuhnya, manusia…. Barangsiapa yang meminta pertolongan dengan jin
dalam membuang pengaruh sihir atau ingin mengetahui jati diri jin yang sedang
merasuki seseorang – jin itu laki-laki atau perempuan, muslim atau kafir- dan
kemudian dibenarkan oleh orang tadi dan juga orang-orang yang bersamanya,
niscaya mereka ini tercakup dalam kandungan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam : “Barangsiapa mendatangi tukang ramal, atau dukun dan membenarkannya
atas ucapannya, maka ia telah mengingkari risalah yang diturunkan kepada
Muhammad”. [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan imam lainnya. Lihat
Ghayatul Irwa`, no. 2006]. Maka aku ingin memberikan masukan untuk mereka –kalau
mereka tetap menjalankannya- saat berkomunikasi dengan jin, tidak melebihi
petunjuk Nabi yang hanya mengatakan “Keluarlah kamu, wahai musuh Allah”. Lihat
Silsilah Shahihah, 6/1009-1010.
Komunikasi dalam pengobatan ruqyah ini justru berdampak buruk, di antaranya:
Pertama : Terjadinya fitnah dan perseteruan antara manusia. Sebab, tatkala jin
mengatakan bahwa si Fulan adalah aktor yang menyusupkan pengaruh sihir, dan ini
didengar oleh orang banyak, maka dapat mengakibatkan timbulnya permusuhan dan
kebencian di antara kaum Muslimin. Berapa banyak tali silaturahmi yang putus,
rumah yang hancur dan keluarga yang tercerai-berai lantaran perkataan jin yang
ada dalam tubuh korban kerasukan?
Kedua : Jin akan lebih lama tinggal dalam tubuh korban, lantaran bacaan Al
Qur`an dihentikan dengan komunikasi tersebut.
2. Menyembelih Hewan Sembelihan Untuk Jin.
Perbuatan ini haram, karena termasuk dalam kategori syirik. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “Allah melaknati orang yang menyembelih untuk
selain Allah”.
3. Terlalu Bergantung Pada Pengalaman.
Karena terlalu longgar, banyak peruqyah yang memiliki cara tersendiri, berbeda
dengan cara rekan sejawatnya yang lain. Mereka berdalih, cara ini sudah
melewati uji coba dan ternyata manjur.
Sebagai contoh, mengolesi minyak pada anggota tubuh tertentu, membaca Al Qur`an
di depan satu bejana air dan berwudhu dengannya, juga untuk mandi dengan
berlebihan, penggunaan kayu wangi (bukhur), penggunaan cara kekerasan dengan
intimidasi terhadap jin, keinginan untuk membakarnya, atau bahkan ingin
membunuhnya. Cara yang dipakai kadang dengan pukulan, cekikan (pada korban),
menggelapkan ruangan tempat terapi, membakar beberapa bagian anggota tubuh
korban. Atau dengan melakukan ruqyah di hadapan orang banyak demi menghemat
waktu. Caranya, menggunakan pengeras suara di dalam masjid dengan memfokuskan
pada ayat-ayat yang diklaim sebagai ayat ruqyah.
Syaikh Al Albani mengatakan: “Tidak setiap pengalaman yang bermanfaat
menunjukkan, bahwa cara seperti itu sesuai dengan syariat. Sebab, seandainya
masalah ini dibuka secara bebas, maka akan membuka kelonggaran untuk kedustaan,
bid’ah dan khurafat. Atau tidak menutup kemungkinan terjadinya kesyirikan”.
4. Berprofesi Sebagai Pembaca Ruqyah.
Pertama : Kebanyakan orang akan mengira, bahwa peruqyah ini mempunyai
keistimewaan tersendiri. Buktinya banyak pengunjung mendatanginya. Akibatnya,
menimbulkan asumsi, jika posisi pembaca Al Qur`an melebihi kedudukan yang
dibacanya, yaitu Al Quran. Oleh karena itu, segala akses yang berakibat
melemahnya kepercayaan orang kepada Al Qur`an harus dicegah.
Kedua : Sang peruqyah juga mungkin akan mengira dirinya mempunyai kekuatan
super sehingga setan-setan takluk di hadapannya. Sehingga penyakit ‘ujub dan
takabur merasukinya, demikian juga perasaan buruk lainnya.
Dahulu, pada zaman sahabat, ada sekian sahabat yang dikenal doanya terkabul,
seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, dan juga Uwais Al Qarni dari kalangan tabi’in.
Meski begitu, tidak diketahui atsar yang menunjukkan adanya orang-orang
memadati rumahnya untuk meminta doa. Padahal doa mustajab sangat dibutuhkan
orang-orang untuk memperbaiki dunia dan akhiratnya.
Ketiga : Orang yang menyibukkan diri untuk meruqyah, adalah laksana orang yang
mengkhususkan diri untuk mendoakan orang lain, karena jenisnya sama. Apakah
pantas bagi seorang muslim mengatakan, kemarilah aku akan doakan kalian.
Apalagi praktek ini mematikan semangat orang untuk meruqyah diri sendiri dan
meminta penyembuhan dari Allah semata.
5. Meminta Upah Dengan Berbagai Cara.
Imbal balik ini dilakukan dengan beragam cara :
Pertama : Memaksa agar diberi upah yang tinggi.
Kedua : Menolak meruqyah kecuali setelah menerima satu nominal uang dari
penderita.
Ketiga : Sengaja mengulangi pengobatan dan memanjangkan waktunya sehingga dapat
menerima upah untuk setiap kesempatan.
Keempat : Mereka mengaku tidak meminta upah, tetapi hanya ada jual beli air
“bertuah” yang sudah dibacakan ruqyah padanya. Air “bertuah” dicampur dengan
beberapa ramuan alami, kemudian dijual dengan harga mahal.
6. Membuat Dzikir-Dzikir Baru Dalam Agama.
Dalam beberapa buku disebutkan adanya pengobatan dengan ayat Al Qur`an,
dzikir-dzikir yang umum dalam syariat, namun cara ketentuan membacanya
ditetapkan dengan cara-cara yang khusus.
Sebagai misal, adanya ketentuan agar ayat ini atau dzikir ini dibaca duapuluh
kali atau seratus kali. Padahal sama sekali tidak ada keterangannya dalam
agama. Contoh konkretnya dalam buku Itsbatu ‘Ilaji Jami’i Al Amradhi Bil Qur`an
(ketetapan penyembuhan segala penyakit dengan Al Qur`an). Dalam buku tersebut
dijelaskan, setelah penulis menyebutkan ayat-ayat terapi, ia menambahkannya
dengan ketentuan “hendaknya ditulis dalam piring buatan Cina, berwarna putih
tanpa ornamen. Tentu yang seperti ini merupakan kesalahan.
Disamping cara-cara ruqyah yang keliru di atas, masih ada beberapa cara yang
menyimpang lainnya, seperti:
- Meyakini bahwa ruqyah benar-benar bermanfaat dan merupakan faktor penyembuh.
- Membuka pengobatan dengan menanyakan nama dan nama ibu pasien.
- Meminta benda-benda yang pernah dipakai pasien.
- Meminta penyembelihan hewan dengan cara khusus. Dan kadang, setelah itu
memerintahkan untuk melumuri badan penderita dengan darah hewan tersebut.
- Menuliskan beberapa kalimat yang tidak dapat dipahami layaknya kode morse
atau huruf yang putus-putus.
- Melakukan komat-kamit dengan kalimat yang tidak terpahami.
- Membekali pasien dengan benda untuk dipendam di sekitar rumah.
- Menyatakan mampu memberi tahu pasien tentang kondisi yang dialaminya.
- Terlihatnya tanda-tanda kefasikan pada seorang peruqyah, seperti malas
menunaikan shalat berjamaah.
- Dalam pengobatan wanita, dengan dalih sebagai penyembuh atau dengan alasan
terpaksa, kadang sang peruqyah membuka aurat wanita, melihat wanita di tengah
pengobatan, meletakkan tangan di tubuh pasien wanita atau mengoleskan cream di
beberapa anggota tubuhnya. Padahal, wanita adalah fitnah terbesar bagi kaum
lelaki. Disinilah setan berusaha menjerumuskan para terapis ke jurang
pelanggaran syari’at dengan dalih penyembuhan, dan masih banyak lainnya.
Demikian praktek ruqyah yang bisa dianggap bisa mewakili terungkapnya beberapa
kekeliruan yang terjadi seputar ruqyah. Bagi mereka yang melakukan terapi
ruqyah, hendaknya berpegang teguh dengan petunjuk Al Qur`an dan Sunnah yang
shahih. Jangan sampai setan mempermainkan mereka. Allah berfirman, yang
artinya: Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [QS An Nur ayat 63]. (Red)
Maraji`:
1. As Sihru Wa Al’Ain Wa Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, karya Fahd bin Sulaiman Al
Qadhi`, Cetakan Haiah Al Amru Bil MA’rufi Wan Nahyi ‘Anil Mungkar, tanpa tahun.
2. Fathur Rahman Fi Bayani Hajril Qur`an, karya Abu Anas Muhammad bin Fathi Alu
‘Abdul Aziz dan Abu Abdir Rahman Mahmud bin Muhammad Al Mallah, Dar Thayyibah
Al Kadhra`, Mekkah, Cet. II, Th. 2002.
3. Nazharat Wa Ta`ammulat Min Waqi’i Al Ummah, karya Dr. Muhammad bin Abdur
Rahman Al Khumayyis, Maktabah Ash Shabahah Sharjah Uni Emirat, Cet. I, Th. 1419
H/1998M.
Hukum Mengkhususkan Diri Untuk Meruqyah Dan Menjadikannya
Sebagai Pekerjaan Tetap
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Pada zaman sekarang ini, ada sebagian thullabul ilmi (penuntut ilmu syar’i)
menjadi terkenal bisa mengobati orang dengan menggunakan ruqyah. Kemampuan
meruqyah membuatnya menjadi terkenal sehingga dapat dijumpai sarana-sarana
tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Dengan banyaknya imbalan yang diperoleh dari meruqyah ini, mereka rela
melepaskan kesibukan-kesibukan dan mengambil jalan pintas dengan cara
mengkhususkan diri sebagai tukang ruqyah. Mereka pun banyak memperluas waktu
untuk itu dan selalu siap apabila ada orang yang datang untuk berobat, sehingga
membuat mereka sibuk mengatur jam-jam berobat layaknya dokter-dokter dan rumah
sakit spesialis, serta menjadikan meruqyah ini sebagai pekerjaan tetap
(profesi).
Mereka mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai pekerjaan
tetap (mata pencaharian) sehingga menjadikan dirinya terkenal. Cara seperti ini
dapat mendatangkan kemudharatan, baik bagi peruqyah itu sendiri maupun bagi
mereka yang diruqyah. Di antara kemudharatan itu antara lain:
Dengan banyaknya pengunjung yang datang berobat kepada peruqyah, bisa
menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang awam. Mereka menyangka, hanya
dengan melihat banyaknya pengunjung yang datang kepadanya, peruqyah tadi
mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sehingga dengan
demikian, pentingnya peruqyah melebihi pentingnya bacaan-bacaan yang dibaca
oleh peruqyah tadi, yaitu kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala . Bahkan orang-orang
awam tersebut tidak lagi melihat pentingnya apa yang dibaca oleh peruqyah, namun
hanya melihat kepada peruqyah itu saja.
Dalam hal meruqyah, yang memberi manfaat sebenarnya adalah apa yang dibaca dari
Al Qur`an, sedangkan peruqyah itu sendiri hanya membacakan saja. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan Kami turunkan dari Al Qur`an suatu penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman…" [Al Isra` : 82].
Dalam surat
lain Allah berfirman :
"…Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah penawar dan petunjuk bagi orang-orang
yang beriman …." [Fushilat:44].
Kita tidak memungkiri ada atsar dari keshalihan peruqyah, kuat keimanannya,
tsiqah-nya terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta tawakalnya kepadaNya,
namun sebenarnya, dia itu hanyalah membacakan saja. Karena yang mempunyai
pengaruh kesembuhan, sebenarnya ialah kalamullah, yaitu Al Qur`an Al Karim yang
dibaca oleh si peruqyah tersebut.
Jadi setiap apa yang melemahkan kepercayaan seseorang terhadap kalamullah, maka
seharusnya dicegah dan tidak dibiarkan.
Ibnul Qayyim berkata: “Maka Al Qur`an-lah yang menjadi obat sempurna bagi semua
penyakit hati, penyakit badan, maupun penyakit dunia dan akhirat. Tidak seorang
pun yang bisa menyembuhkannya kecuali Dia. Apabila seseorang sudah memperbaiki
caranya berobat dengan menggunakan Al Qur`an, kemudian sudah dia tempatkan pada
anggota badan yang sakit dengan penuh keyakinan dan keimanannya, menerima
dengan lapang dada, dan dengan keyakinan yang mantap serta semua
syarat-syaratnya sudah terpenuhi, maka penyakit itu tidak akan pernah
menghalanginya untuk mendapat kesembuhan. Sebab bagaimana mungkin penyakit
dapat menghalangi ataupun melawan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabbnya
segala apa yang ada di langit dan di bumi; apabila Al Qur`an itu diturunkan di
atas gunung, maka gunung itu akan hancur; atau kalau diturunkan di atas bumi,
maka bumi itu sendiri akan terpotong dan terbelah" [1].
Apabila kita melihat sirah (perjalanan hidup) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sirah sahabat-sahabatnya serta sejarah para ulama kaum Muslimin yang
tidak diragukan lagi keimanan dan kelebihan mereka, maka kita tidak akan
menemukan seorang pun di antara mereka yang meninggalkan pekerjaan-pekerjaan
mereka dan mengkhususkan diri dengan membuka praktek pengobatan melalui ruqyah.
Kita juga tidak akan mendapatkan salah seorang pun di antara mereka yang
menjadikan ruqyah sebagai mata pencaharian, sehingga membuat mereka menjadi
terkenal di kalangan masyarakat, apabila disebut namanya, maka disebut juga
pekerjaannya ini beserta namanya.
Tidak diragukan lagi, bahwa setiap zaman penyakit-penyakit itu bertambah
banyak. Namun kita tidak melihat salah seorang pun dari pemimpin kaum Muslimin
yang menisbatkan dirinya sebagai tukang ruqyah seperti penisbatan kepada mufti
(pemberi fatwa) dan qadhi (hakim). Pada zaman dahulu, orang yang menderita
suatu penyakit, dia sendirilah yang meruqyah dengan menggunakan Kitab Allah (Al
Qur`an) dan do’a-do’a yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan
bila ada seseorang yang sakit, kemudian ia diruqyah oleh orang yang faham
tentang agama, maka hal itu boleh saja. Sebagaimana disebutkan dalam hadits
dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Ada
seorang di antara kami yang digigit kalajengking pada waktu itu kami sedang
duduk bersama Rasulullah, lalu ada seorang berkata,”Ya, Rasulullah. Bolehkah
saya meruqyahnya?” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ
فَلْيَفْعَلْ
"Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberikan manfaat kepada
saudaranya, hendaklah ia lakukan". [2]
Seandainya mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai
pekerjaan tetap (profesi) serta menyebarkannya di kalangan masyarakat adalah
suatu kebaikan, tentu para sahabat akan melakukannya lebih dahulu daripada
kita. Hal ini, sama juga ketika suatu amalan yang termasuk bagian dari syari’at
Islam, namun dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat,
kemudian dianggap baik oleh masyarakat, maka demikian itu termasuk bid’ah. Hal
ini sesuai dengan penjelasan As Salt bin Bahram, dia berkata: “Sungguh pada
suatu hari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berjalan melewati seorang perempuan
yang sedang memegang tasbih yang ia gunakan untuk bertasbih, maka Ibnu Mas’ud
pun memotong tasbih tersebut lalu membuangnya”. Kemudian beliau juga melewati
seorang laki-laki yang sedang bertasbih (memuji-muji kepada Allah) dengan
menggunakan batu-batu kecil, beliau pun menendang batu-batu itu dengan kakinya,
lantas berkata,’Kelalaian telah membawa kebid’ahan yang merupakan suatu
kezhaliman, atau kalian telah melampaui keilmuan para sahabat Radhiyallahu
'anhum ?’." [3]
Sebenarnya yang membuat para tukang ruqyah pada zaman kita ini lebih terkenal
ialah, karena mereka menyediakan tempat-tempat khusus untuk menemui mereka
kapan mereka suka, sebagaimana yang dilakukan para dokter, pedagang atau
pemilik perusahaan lainnya.
Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuka tempat khusus untuk meruqyah
-tentu akan banyak yang datang, dan kemudian beliau sibuk hanya untuk menemui
mereka kapan mereka mau- tentu beliau tidak akan dapat mengajarkan ilmu syar’i,
dan juga tidak dapat menjelaskan tentang kebenaran agama Islam kepada umat.
Terlebih lagi pada zaman yang diliputi kejahilan seperti saat ini serta
merebaknya kebodohan dan khurafat, ketergantungan kepada selain Allah, kepada
wali-wali setan, para syaikh dan kepada tokoh tertentu.
Para setan, apabila melihat ketergantungan seseorang kepada peruqyah yang sudah
menolongnya, maka tanpa sepengetahuannya, setan itu akan berpura-pura takut
kepada peruqyah, kemudian akan mengatakan bahwa dirinya akan keluar dari tubuh
orang yang dimasukinya tadi dan yang semisalnya, dengan tujuan untuk menambah
kepercayaan orang tadi kepada peruqyah lebih kuat daripada kepercayaannya
terhadap apa yang dibaca oleh peruqyah itu. Di samping itu, setan-setan itu
juga bermaksud agar orang awam berkeyakinan, bahwa ruqyah mempunyai keanehan
tersendiri.
Dalam riwayat Abu Dawud dengan lafazhnya sebagai berikut: dari Zainab -istri
Abdullah bin Mas’ud c – berkata: Sesungguhnya Abdullah melihat benang di
leherku, lalu ia berkata,”Apa ini?” Aku menjawab,”Benang untuk meruqyahku”.
Zainab berkata: Lalu Abdullah mengambilnya, kemudian memotongnya, lalu ia
berkata : Kamu semua, wahai keluarga Abdullah, sungguh tidak butuh kepada
syirik. Aku telah mendengar Rasulullah bersabda.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَلَةَ
شِرْكٌ
"Sesungguhnya ruqyah [4], tamimah[5], dan tiwalah[6] adalah syirik".
Maka aku berkata: “Waktu itu mataku berair, dan aku berobat kepada fulan
Yahudi. Jika ia meruqyahku, maka aku merasa enak”.
Maka Abdullah berkata: Itu hanyalah perbuatan setan. Setan itu merangsangnya
dengan tangannya. Karenanya, jika ia meruqyah, ia menahannya dari rasa salah.
Akan tetapi cukuplah kamu mengucapkan sebagaimana Rasulullah ucapkan.
أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ, وَاشْفِ
أَنْتَ الشَّافِى, لاَشِفَاءَ إِلاَّ
شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَيُغَادِرُ سَقَمًا.
"Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia, dan sembuhkanlah! Engkau adalah
Dzat Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan Engkau, kesembuhan yang
tidak meninggalkan penyakit". [7]
Tipu daya setan terhadap manusia itu sangat besar, sampai-sampai tidak bisa
diketahui, kecuali oleh orang-orang yang faqih dalam masalah agama. Sedangkan
apa yang dilakukan orang-orang awam ketika mendengar cerita-cerita aneh tentang
si peruqyah, mereka hanya berlomba-lomba menemui tukang ruqyah itu dan
memberikan kepada mereka upah yang tidak sedikit jumlahnya. Lebih-lebih lagi
apabila mereka mendengar bahwa setan-setan berbicara dengan menggunakan lidah
orang-orang yang dimasukinya tadi di depan peruqyah, kemudian peruqyah tadi
membuat perjanjian dengan setan itu untuk tidak masuk lagi ke dalam tubuh orang
yang dimasukinya tersebut.
Semakin banyak tersebar cerita-cerita aneh seperti ini, semakin banyak pula
orang-orang yang mendatangi peruqyah ini dengan maksud untuk memastikan bahwa
dalam dirinya memang tidak ada jin. Seandainya keadaan seperti ini memang benar
merupakan karamah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka seharusnya bagi peruqyah
itu untuk takut dari akibat yang disebabkan oleh perbuatannya itu. Apalagi
seandainya ia tidak bisa menjamin bahwa hal itu bisa mengakibatkan istidraj,
atau hal itu hanya merupakan tipu daya setan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketika kejadian-kejadian yang luar biasa
itu sering terjadi pada diri seseorang, maka hal itu tidaklah mengurangi
derajat orang tersebut. Banyak di antara orang-orang shalih yang bertaubat dari
hal seperti ini. mereka bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana
taubatnya orang-orang yang berbuat dosa-dosa, seperti dosa zina dan mencuri.
Mereka mengadukan hal itu kepada yang lainnya lantas berdo’a memohon kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menghilangkannya. Mereka juga memerintahkan
kepada orang-orang yang ingin bertaubat agar jangan mengharapkan
kejadian-kejadian aneh tersebut, lantas menjadikannya sebagai ambisi yang harus
didapatkannya. Jangan pula berbangga dengan hal itu kemudian menyangka, bahwa
hal itu sebagai bagian dari karamah. Bagaimana seandainya, jika hal itu benar-benar
perbuatan setan dengan maksud untuk menyesatkan mereka? Karena saya tahu,
orang-orang yang diajak berbicara oleh tumbuh-tumbuhan, ia memberitahukan bahwa
di dalam dirinya ada manfaatnya. Saya tahu, sebenarnya yang mengajak mereka
berbicara itu adalah para setan yang ada dalam tumbuh-tumbuhan tersebut. Saya
juga mengerti orang-orang yang diberi tahu oleh batu, pohon; lantas batu dan
pohon-pohon itu berkata kepada mereka “Mudah-mudahan dapat menyenangkanmu wahai
wali Allah”. Ketika dibacakan ayat kursi kepadanya, maka hilanglah semua itu.
Saya juga mengerti orang-orang yang pergi menangkap burung; lantas
burung-burung itu berkata kepadanya “Bawalah diriku agar aku dimakan oleh
orang-orang yang sangat membutuhkan”. Hal itu bisa terjadi, karena setan masuk
ke dalam tubuh burung itu; sebagaimana ia masuk ke dalam tubuh manusia, lalu
berkata seperti yang diucapkan tadi”.[8]
Bisa jadi, orang-orang yang meruqyah itu merasa bahwa dirinya adalah salah
seorang wali Allah yang berbakti kepadaNya, atau merasa tinggi hati dan yang
lainnya. Ini disebabkan karena begitu banyak penyakit yang sudah disembuhkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui ruqyahnya; demikian juga melihat
bagaimana setan takut kepadanya dan langsung keluar dari orang yang kesurupan,
dan yang lainnya. Para salafush shalih dahulu
-semoga Allah merahmati mereka- merasa takut dan khawatir terhadap hal-hal
seperti ini, dan mereka pun menutup jalan masuk perasaan-perasaan seperti itu.
Orang yang meruqyah, sebagaimana yang sudah disebutkan di muka, tidaklah
seperti seorang dokter yang banyak dikunjungi para pasien untuk berobat
kepadanya; karena seorang dokter itu mengobati dengan pengobatan yang sudah
diketahui, dan dia tidak mengetahui bahwa obat itu bermanfaat kecuali apabila
pasien itu sendiri yang mengatakan kepadanya tentang penyakitnya. Bahkan
seorang pasien meyakini, bahwa kesembuhannya itu tergantung dengan obat-obatan
yang diberikan oleh dokter, bukan dengan dokter yang mengobatinya. Ini berbeda
dengan seorang peruqyah; maka dia menyangka bahwa kesembuhan itu tergantung
pada dirinya bukan kepada apa yang dibacanya, dengan alasan Al Qur`an ada pada
diri setiap Muslim, mereka bisa membacanya kapan saja mereka inginkan, namun
walaupun demikian, mereka berserah diri agar yang membacanya itu harus si
peruqyah. Hal ini bisa memasukkan perasaan ujub dan sombong pada diri peruqyah;
dia menyangka dirinya dengan prasangka yang bermacam-macam. Tidak diragukan
lagi, menjauhi hal seperti ini adalah lebih baik. Allahu a’lam bish shawab.
Salah satu kritik yang perlu diarahkan kepada para tukang ruqyah yang
menggunakan tata cara yang tidak dicontohkan syar’i. Yaitu, kadang-kadang
mereka berbicara tanpa didasari oleh ilmu. Misal, apabila mereka meruqyah
seseorang, namun jin yang ada dalam tubuh orang tersebut tidak mau berbicara,
mereka dengan mudahnya berkata “tidak ada jin dalam tubuhmu, namun engkau hanya
terkena ‘ain”, atau perkataan “tidak ada jin dalam tubuhmu dan tidak juga
penyakit ‘ain”. Mereka juga berkata “kami tidaklah meruqyah orang kesurupan, kecuali
jin itu pasti akan berbicara dan berdialog dengan kami karena takutnya kepada
kami, atau kepada bacaan-bacaan yang kami baca”.
Hal seperti ini bukan berarti menunjukkan si peruqyah tersebut berilmu. Karena
sesungguhnya orang yang kesurupan, apabila dibacakan doa dan dzikir-dzikir yang
biasa digunakan untuk meruqyah, kemudian jin yang ada di dalam tubuhnya itu
merasa takut, maka disebabkan karena ketakutannya itu ia pun berbicara. Atau
mungkin saja jin itu tidak berbicara dan tidak takut. Jadi, dari mana para
tukang ruqyah itu mengatakan dengan yakin, bahwa tidak ada jin atau penyakit
‘ain pada diri seorang kesurupan yang sedang diruqyahnya? Kesurupan seperti ini
bisa terjadi, karena orang yang sakit tadi meninggalkan doa-doa yang diajarkan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebaliknya ia yakin dengan
perkataan-perkataan para tukang ruqyah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
dimintai pertanggung-jawabannya". [Al Isra`: 36].
Hal yang perlu juga dikritik dari para peruqyah tersebut, yaitu cara mereka
mengumpulkan orang-orang yang datang berobat kepadanya, kemudian dia membacakan
kepada mereka sekaligus dengan satu bacaan, dengan tujuan untuk mempersingkat
waktu, karena begitu banyak orang yang datang berobat kepadanya. Kemudian para
pengunjung tadi mengambil ludah peruqyah dengan menggunakan bejana-bejana
mereka. Ataupun mengadakan majelis khusus dengan mengundang banyak orang untuk
diruqyah, kemudian diruqyah satu persatu, dengan maksud sebagai tontonan kepada
masyarakat sebagai media pengobatan massal.
Melihat begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara
seperti itu oleh para peruqyah, seperti harta banyak, maka beberapa dukun
maupun orang pintar dan pembohong besar berlomba-lomba menampakkan diri sebagai
tukang ruqyah. Mereka pun membuka tempat-tempat khusus untuk tujuan ini,
mencampurkan kebenaran dengan kebatilan sehingga membuka pintu-pintu kehancuran
bagi umat manusia. Dengan demikian, sulit untuk mengingkari para dukun dan
orang pintar, karena semuanya bercampur dengan orang yang tidak mencampurkan
bacaan mereka dengan tipuan atau ramalan yang mengakibatkan sulitnya membedakan
antara mereka. Dan suatu kemungkaran itu menjerumuskan kepada kehancuran, maka
wajib bagi kita untuk mencegahnya, sekalipun orang yang melakukan hal itu
bermaksud baik.
Abdullah bin Mas’ud dan para sahabatnya serta para ulama tersohor melarang
untuk menggantungkan Al Qur`an walaupun itu adalah kalamullah, sebagai cara
untuk mencegah kemungkaran, agar hal itu tidak menjurus pada penggantungan
tama’im [9]. Dan sebagaimana hal ini difatwakan oleh Lajnah Ad Da’imah Lil
Buhutsil ‘Ilmiah Wal Ifta’ Saudi Arabia.[10]
Orang-orang yang mengkhususkan diri untuk meruqyah dan menjadikannya sebagai
pekerjaan tetap (profesi), mereka mengira jika hal itu boleh saja dilakukan dan
hukum melakukannya adalah sunnah; dan sunnah termasuk salah satu hukum syar’i
yang merupakan suatu ibadah. Maka perbuatan ini bisa menjerumuskan mereka ke
dalam perbuatan bid’ah, karena menjadikan ruqyah sebagai profesi tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak juga oleh
para khulafa’ur rasyidin.
Adapun yang terjadi pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika
beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah
sumber air yang di dekatnya ada sekelompok orang. Salah seorang dari sekelompok
orang tersebut digigit binatang berbisa. Kemudian salah seorang dari mereka
berkata: “Apakah di antara kalian ada yang dapat meruqyah karena di dekat
sumber air itu ada orang yang tersengat binatang?” Kemudian pergilah salah
seorang di antara para sahabat membacakan surat
Al Fatihah dengan perjanjian, apabila ia sembuh, maka ia dibayar dengan seekor
kambing. Setelah dibacakan, orang itu pun sembuh, lalu ia memberikan seekor
kambing sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya. Ketika sahabat tadi kembali
ke rombongannya dengan membawa seekor kambing, rombongannya tidak mau menerima
kambing itu dan berkata: “Engkau telah mengambil upah dari kitab Allah”. Ketika
mereka sampai di kota
Madinah, mereka pun melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam . Mereka berkata,”Wahai, Rasulullah. Bolehkah kita mengambil
upah dari Kitab Allah?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu menjawab:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
كِتَابُ اللهِ.
"Sebaik-baik upah yang kalian ambil adalah upah dari Kitab
Allah".[11]
Beberapa sahabat ada yang terkenal dengan doanya yang mustajab, seperti Sa’ad
bin Abi Waqqas. Dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar
gembira untuk masuk surga, dan termasuk orang yang didoakan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam agar doanya terkabul. Sa’ad berkata: Rasulullah
mendoakanku :
اَللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لَهُ إِذَا دَعَاكَ
"Ya Allah, kabulkanlah doanya apabila ia berdoa kepadaMu".[12]
Selain itu juga beberapa tabi’in (pengikut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam)
seperti Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu. Namun, walau demikian keadaannya,
tidaklah membuat kaum Muslimin sangat membutuhkan kemustajaban doa mereka untuk
memperbaiki dunia dan agama kaum Muslimin, meski sebenarnya tidak ada larangan
syar’i untuk datang dan meminta doa kepada mereka, sebagaimana yang dilakukan
Umar bin Khaththab z kepada Uwais bin Al Qarni, karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memberitahukannnya untuk melakukan hal itu. Walau demikian,
tidak diragukan lagi, seandainya Umar bin Khaththab melihat penduduk Madinah
berkumpul di tempat Uwais untuk meminta doa, demikian juga penduduk Makkah dan
Irak, tentu ia akan mencegahnya, meskipun beliau juga pernah meminta doa kepada
Uwais. Hal ini dia lakukan karena takut akan terjadi fitnah pada diri
orang-orang tersebut dan terhadap Uwais sendiri. Dan karena kefakihan Uwais Al
Qarni Radhiyallahu 'anhu , ia berusaha menyembunyikan keberkahan doanya dan
tidak menjerumuskan diri sendiri dan orang lain terhadap fitnah.
Diriwayatkan dari Usair bin Jabir. Dahulu, ketika Umar bin Khaththab
Radhiyallahu 'anhu didatangi oleh sekelompok rombongan yang datang dari negeri
Yaman, beliau bertanya kepada mereka: “Apakah di antara kalian ada yang bernama
Uwais bin Amir?” Sampai ia ditunjukkan kepada Uwais, kemudian beliau berkata:
“Apakah engkau Uwais bin Amir?” Dia menjawab,”Ya, saya Uwais bin Amir.” Beliau
berkata lagi,”Uwais yang berasal dari Bani Qarni, dari suku Murad?” Uwais
menjawab,”Ya, betul.” Umar lalu melanjutkan,”Dulu engkau pernah terkena
penyakit kusta, namun setelah itu engkau pun sembuh, kecuali masih tertinggal
sedikit lagi?” Uwais menjawab,”Ya, benar.” Kemudian Umar melanjutkan,”Engkau
mempunyai seorang ibu?” Uwais menjawab,”Betul.” Setelah itu Umar berkata
lagi,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,‘Akan
datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari negeri Yaman,
dia berasal dari Bani Qarni dari suku Murad. Dahulu ia pernah terkena penyakit
kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit tersebut kecuali masih tertinggal
sedikit lagi. Dia sangat berbakti kepada ibunya. Apabila dia bersumpah dengan
Nama Allah, karena baktinya kepada ibunya, Allah akan mengabulkan segala
permintaannya. Apabila engkau mau agar dia memohonkan pengampunan untukmu
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’.” Umar lalu berkata:
“Mohonkanlah pengampunan untukku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ”. Setelah
itu Uwais pun mendoakan agar Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuninya.
Setelah itu Umar bertanya,”Hendak kemanakah engkau?” Dia menjawab,”Ke negeri
Kufah.” Umar berkata lagi,”Maukah engkau kutuliskan sepucuk surat
kepada gubernur di sana ?”
Dia menjawab,”Aku lebih senang bersama orang-orang miskin ini.” Perawi berkata:
“Setelah satu tahun dari pertemuan mereka itu, salah seorang dari kepala suku
Bani Qarni datang ke kota
Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kepala suku itu bertemu dengan
Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, Umar bertanya kepadanya tentang keadaan
Uwais. Kepala suku itu lalu menjawab,”Aku tinggalkan dia dalam keadaan sangat
menyedihkan, miskin sekali.” Mendengar jawaban itu, Umar lalu memberitahukan
apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya tentang
Uwais. Umar berkata,”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,’Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan
dari negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni bermarga Murad. Dahulu ia pernah
terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit itu, kecuali masih
tertinggal sedikit lagi. Apabila engkau mau agar dia memohonkan pengampunan
bagimu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’."
Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, kepala suku itu pun pulang dan
langsung menemui Uwais, lantas berkata kepadanya: “Mohonkanlah ampunan bagiku
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Uwais menjawab,”Engkau baru saja kembali
dari suatu perjalanan shalih (kebajikan). Engkaulah yang lebih pantas untuk
memintakan aku pengampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apakah engkau
bertemu dengan Umar?” Kepala suku itu menjawab: “Ya, aku bertemu dengannya.”
Setelah itu Uwais pun mendoakannya, sehingga orang-orang pun mengetahui tentang
dirinya, lantas pergi meninggalkannya. Usair berkata: “Uwais mengenakan pakaian
burdah. Dan setiap orang yang melihat pakaian tersebut, mereka pasti bertanya,
dari mana Uwais mendapatkan pakaian itu?" [13]
Pada hakikatnya ruqyah itu sama seperti doa, bahkan dikategorikan sebagai doa
dan yang semisalnya. Seandainya penduduk sebuah negeri bergantian mendatangi
seseorang yang tampaknya bisa memberikan kebaikan bagi anak-anak mereka dengan
cara men-tahnik-nya dengan kurma atau lainnya, maka banyak juga orang yang
datang membawa anak mereka untuk di tahnik. Yang nampak sangat jelas pada zaman
Nabi, banyak bayi yang lahir, tetapi tidak dibawa kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam minta untuk di tahnik. Oleh karena itu, seharusnya orang yang
meruqyah khawatir terhadap dirinya atau terhadap mereka dari fitnah.
Ironisnya pada zaman sekarang ini, ada beberapa thullabul ilmi (penuntut ilmu
syar’i) yang didatangi oleh beribu-ribu orang dengan tujuan meminta ruqyah
kepadanya, kemudian mereka meninggalkan para ulama; apakah mereka tidak merasa
takut terhadap fitnah ujub, riya’, sombong dan lain sebagainya?
Jika sudah jelas dalam masalah ini terdapat kerusakan terhadap masyarakat,
terutama orang-orang awam, yaitu timbulnya ketergantungan dan kepasrahan mereka
terhadap peruqyah lebih besar daripada ketergantungan dan kepasrahan kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan firmanNya; mereka menyangka, kesembuhan itu
berhubungan dengan peruqyah hanya karena melihat banyaknya pengunjung yang
datang menemuinya, sementara hal ini merupakan sesuatu yang tidak pernah mereka
lihat pada sebagian besar ulama-ulama shalih, maka tidak diragukan lagi,
mencegah kehancuran lebih baik daripada mengharapkan kebaikan, khususnya
apabila kehancuran yang diakibatkan lebih besar daripada kebaikan yang
diharapkan. Di samping itu, meruqyah seperti itu juga bisa mendatangkan
kerusakan pada diri peruqyah sendiri; misalnya, menjadikan dirinya tenar dan
membuat dirinya merasa tinggi hati, lantas memulai ruqyah dengan cara-cara yang
tidak pernah dikenal di kalangan ulama-ulama salafush shalih, seperti dengan
cara memukul, atau gaya tertentu, atau membacakan terhadap beratus-ratus orang
secara bersamaan dengan satu bacaan, lantas meniup pada bejana-bejana mereka
setelah bacaan tadi. Semua ini adalah perbuatan bid’ah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengkhususkan diri untuk meruqyah, sama seperti
orang yang mengkhususkan dirinya untuk berdoa bagi orang lain; sehingga dengan
demikian, ruqyah dan doa adalah sama. Jadi apakah pantas bagi seorang penuntut
ilmu mengatakan “kemari, datanglah kepadaku, aku akan mendoakanmu”.
Ini sangat bertentangan dengan petunjuk para salafush shalih. Selain itu juga,
dahulu Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dan para sahabat lainnya serta
para tabi’in benci apabila ada seseorang datang meminta doa kepada mereka.
Mereka berkata “apakah kami ini seorang nabi?”
Dampak negatif menyebarnya hal ini, yaitu bisa menimbulkan keraguan pada diri
orang awam dan orang-orang yang tidak berilmu; mereka menyangka, cara ini
adalah cara yang benar dalam melakukan ruqyah, sehingga mereka pun pergi
meminta ruqyah kepada orang lain dan melupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam meruqyah, yaitu meruqyah diri sendiri dan menyerahkan
diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk memohon kesembuhan kepadaNya.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwasanya mengkhususkan diri menjadi
peruqyah dan menjadikannya sebagai profesi (mata pencaharian), menurut
penjelasan para ulama ahlus sunnah, tidak dibenarkan. Hal seperti ini akan
menjerumuskan kepada bahaya, fitnah dan lain sebagainya, sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Wallahu a’lam bish shawab.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, thullabul ‘ilmi dan kaum muslimin.
Mudah-mudahan kita tetap ditunjuki ke jalan yang benar, mengikuti Al Qur`an dan
Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Washallahu’ala Nabiyyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maraji’:
1. Ar Ruqaa; ‘Ala
Dhau’i Aqidati Ahli As Sunnati Wal Jama’ati Wa Hukmu At Tafarrughi Laha Wat
Tikhaadzihaa Hirfah, oleh Dr. Ali bin Nufayyi’ Al Alyani, Cet. I, Darul Wathan,
Th. 1411 H.
2. Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
3. Fatawa Al Ulama Fi ‘Ilajis Sihr Wal Mass Wal ‘Ain Wal Jann, Jam’u Wa Tartib
Nabiyyil Bion, Muhammad Mahmud, Cet. II, Darul Qasim, Th.14221 H.
4. Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil Ibad, Juz 4, oleh Imam Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah, tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir Al Arna-uth, Cet. Muassassah Ar
Risalah, Th. 1415 H.
5. Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, ta’lif Abdurrahman bin Hasan bin
Muhammad bin Abdul Wahab, tahqiq Dr. Walid bin Abdurrahman Al Furayyan, Th.
1419 H.
6. Risalah Fi Ahkamir Ruqaa Wat Tamaaim Wa Shifati Ruqyah Asy Syar’iyyah,
Muhammad bin Ibrahim.
7. Qawa’id Ar Ruqyah Asy Syar’iyyah, oleh Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman
As Sad-haan, Cet. Dar Al ‘Ashimah, Th. 1415 H.
Kiat Membentengi Keluarga Dari Sihir
SEKILAS TENTANG HAKIKAT SIHIR
Secara etimologis, sihir artinya sesuatu yang tersembunyi dan sangat halus
penyebabnya. Sedangkan menurut istilah syariat, Abu Muhammad Al Maqdisi
menjelaskan, sihir adalah azimat-azimat, mantra-mantra atau pun buhul-buhul
yang bisa memberi pengaruh terhadap hati sekaligus jasad, bisa menyebabkan
seseorang menjadi sakit, terbunuh, atau pun memisahkan seorang suami dari
istrinya. [1]
Jadi sihir benar-benar ada, memiliki pengaruh dan hakikat yang bisa
mencelakakan seseorang dengan taqdir Allah yang bersifat kauni . Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ
بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
وَمَاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ
"Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang bisa mereka
gunakan untuk menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka
(ahli sihir) itu tidak dapat memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang
pun kecuali dengan izin Allah" [Al Baqarah : 102].
Demikian juga firman Allah yang memerintahkan kita berlindung dari kejahatan
sihir :
وَ مِنْ شَر ِّ النَّفَّاثاَتِ فْي العُقَدِ
"Dan (aku berlindung kepada Allah) dari kejahatan wanita-wanita tukang
sihir yang menghembuskan pada buhul-buhul". [Al Falaq : 4].
Seandainya sihir tidak memiliki pengaruh buruk, tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala
tidak akan memerintahkan kita agar berlindung darinya.[2]
Sihir juga pernah menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu
ketika seorang Yahudi bernama Labid bin Al A’sham menyihir Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Aisyah rahimahullah menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سُحِرَ حَتَّى كَانَ يَرَى
أَنَّهُ يَأْتِي النِّسَاءَ وَلَا يَأْتِيهِنَّ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah disihir, sehingga Beliau
merasa seolah-olah mendatangi istri-istrinya, padahal tidak
melakukannya".[3]
Berkaitan dengan hadits ini, Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan: “Sihir adalah salah
satu jenis penyakit diantara penyakit-penyakit lainnya yang wajar menimpa
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti halnya penyakit lain yang tidak
diingkari. Dan sihir ini tidak menodai nubuwah Beliau. Adapun keadaan Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu, seolah-olah membayangkan melakukan
sesuatu, padahal Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya. Hal
itu tidak mengurangi kejujuran Beliau. Karena dalil dan ijma’ telah menegaskan
tentang kema’shuman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari sikap tidak jujur.
Terpengaruh sihir perkara yang hanya mungkin terjadi pada diri Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam masalah duniawi yang bukan merupakan tujuan risalah
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
tidak diistimewakan lantaran masalah duniawi pula. Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah manusia biasa yang bisa tertimpa penyakit seperti halnya
manusia. Maka bisa saja terjadi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
dikhayalkan oleh perkara-perkara dunia yang tidak ada hakikatnya. Kemudian
perkara itu (pada akhirnya) menjadi jelas sebagaimana yang terjadi pada diri
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam”.[4]
Sihir memiliki bentuk beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Di antara
contohnya adalah tiwalah (sihir yang dilakukan oleh seorang istri untuk
mendapatkan cinta suaminya/pelet), namimah (adu domba), al ‘athfu (pengasihan),
ash sharfu (menjauhkan hati) dan sebagainya. Sebagian besar sihir ini masuk ke
dalam perbuatan kufur dan syirik, kecuali sihir dengan membubuhi racun atau
obat-obatan serta namimah, maka ini tidak termasuk syirik.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Sihir termasuk perbuatan
syirik ditinjau dari dua sisi.
Pertama : Karena dalam sihir itu terdapat unsur meminta pelayanan dan
ketergantungan dari setan serta pendekatan diri kepada mereka melalui sesuatu
yang mereka sukai, agar setan-setan itu memberi pelayanan yang diinginkan.
Kedua : Karena di dalam sihir terdapat unsur pengakuan (bahwa si pelaku)
mengetahui ilmu ghaib dan penyetaraan diri dengan Allah dalam ilmuNya, dan
adanya upaya untuk menempuh segala cara yang bisa menyampaikannya kepada hal
tersebut. Ini adalah salah satu cabang dari kesyirikan dan kekufuran”.[5]
Hukum mempelajari dan melakukan sihir adalah haram dan kufur. Hukuman bagi para
tukang sihir adalah dibunuh, sebagaimana yang diriwayatkan dari beberapa orang
sahabat [6]. Dan sihir merupakan perbuatan setan. Allah Azza wa Jalla berfirman
:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى
مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ
سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ
السِّحْرَ
"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman mengerjakan sihir), padahal
Sulaiman tidak kafir (dan tidak mengerjakan sihir), tetapi setan-setan itulah
yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia". [Al
Baqarah : 102]
PETUNJUK NABI UNTUK MENANGKAL DAN MENGOBATI SIHIR
Seperti telah dijelaskan oleh para ulama, sihir termasuk jenis penyakit yang
bisa menimpa manusia dengan izin Allah Azza wa Jalla . Tidaklah Allah Azza wa
Jalla menurunkan satu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obat penawarnya.
Dan seorang muslim dilarang berobat dengan sesuatu yang diharamkan Allah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Beliau bersabda :
مَا أنْزَلَ اللهُ دَاءً إلا أنْزَلَ لَهُ
شِفَاءً
"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah akan menurunkan
pula obat penawarnya".[7]
Seorang muslim dilarang pergi ke dukun untuk mengobati sihir dengan sihir yang
sejenis. Karena hukum mendatangi dukun dan mempercayai mereka adalah kufur.
Apatah lagi sampai meminta mereka untuk melakukan sihir demi mengusir sihir
yang menimpanya, ataupun untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan jodoh
anak dan sanak saudaranya, atau hubungan suami istri dan keluarga, tentang
barang yang hilang, percintaan, perselisihan dan sebagainya. Hal itu merupakan
perkara ghaib dan hanya Allah Azza wa Jalla saja yang mengetahui. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أتَى كَاهِنًا أوْ سَاحِرًا فَصَدَّقَهُ
بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا
أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَدٍ
"Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang sihir, kemudian ia
membenarkan (mempercayai) perkataan mereka, maka sungguh ia telah kafir
terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad".[8]
Para dukun, paranormal, tukang sihir dan peramal itu hanya mengaku-ngaku
mengetahui ilmu ghaib berdasarkan kabar yang dibawa setan yang mencuri dengar
dari langit. Para dukun itu, tidak akan sampai
pada maksud yang diinginkan kecuali dengan cara berkhidmah, tunduk dan taat
serta menyembah tentara iblis tersebut. Ini merupakan perbuatan kufur dan
syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ
الشَّيَاطِينُ {212} تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ
أَفَّاكٍ أَثِيمٍ { 222} يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ
"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun?
Mereka turun kepada setiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan
pendengaran (kepada setan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
pendusta". [Asy Syu’ara`: 221-223].
Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya kepada dugaan
dan asumsi bahwa cara yang dilakukan para dukun itu sebagai pengobatan,
misalnya tulisan-tulisan azimat, rajah-rajah, menuangkan cairan yang telah
dibaca mantra-mantra syirik dan sebagainya. Semua itu adalah praktek perdukunan
dan penipuan terhadap manusia. Barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek
tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sungguh ia telah ikut
tolong-menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.[9]
CARA PENECGAHAN DARI SIHIR YANG DIAJARKAN RASULULLAH[10]
1- Dalam setiap keadaan senantiasa mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan
bertawakkal kepadaNya, serta menjauhi perbuatan syirik dengan segala bentuknya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ {99} إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ
وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan
bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas
orang-orang yang menjadikannya sebagai pemimpin dan atas orang-orang yang
mempersekutukannya dengan Allah". [An Nahl : 99-100].
Ketika Menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata
: “Sesungguhnya setan tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi (mengalahkan)
orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya semata, yang tidak ada
sekutu bagiNya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membela orang-orang mu’min
yang bertawakkal kepadaNya dari setiap kejelekan setan, sehingga tidak ada
celah sedikitpun bagi setan untuk mencelakakan mereka”[11]. Dan ayat-ayat
semisal ini banyak terdapat di dalam Al Qur`an.
2- Melaksanakan setiap kewajiban-kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta'ala
perintahkan, dan menjauhi setiap yang dilarang, serta bertaubat dari setiap
perbuatan dosa dan kejelekan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu :
يَا غُلاَمُ ! إنِي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ ،
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ...
"Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat. Jagalah
Allah, niscaya Allah akan menjagamu…"[12]
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan menyatakan, makna sabda Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam (احْفَظِ اللهَ ) adalah jagalah perintah-perintahNya, larangan-laranganNya,
hukum-hukumNya serta hak-hakNya. Caranya, dengan memenuhi apa-apa yang Allah
dan RasulNya perintahkan berupa kewajiban-kewajiban, serta menjauhi segala perkara
yang dilarang. Sedangkan makna (يَحْفَظْكَ ) ialah, barangsiapa yang menjaga perintah-perintahNya,
mengerjakan setiap kewajiban dan menjauhi setiap laranganNya, niscaya Allah k
akan menjaganya. Karena balasan suatu amalan, sejenis dengan amal itu sendiri.
Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba meliputi penjagaan terhadap
dirinya, anak, keluarga dan hartanya. Juga penjagaan terhadap agama dan imannya
dari setiap perkara syubhat yang menyesatkan”.[13]
3. Tidak membiarkan anak-anak berkeliaran saat akan terbenamnya matahari.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Jika
malam telah masuk -jika kalian berada di sore hari-, maka tahanlah anak-anak
kalian. Sesungguhnya setan berkeliaran pada waktu itu. tatkala malam telah
datang sejenak, maka lepaskanlah mereka". [HR Bukhari Muslim].
4- Membersihkan rumah dari salib, patung-patung dan gambar-gambar yang bernyawa
serta anjing. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Malaikat (rahmat) tidak
akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat hal-hal di atas. Demikian juga
dibersihkan dari piranti-piranti yang melalaikan, seruling dan musik.
5. Memperbanyak membaca Al Qur`an dan manjadikannya sebagai dzikir harian. Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ
الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ
الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
"Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan. Sesungguhnya
setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah".[14]
6- Membentengi diri dengan doa-doa dan ta’awudz serta dzikir-dzikir yang
disyariatkan, seperti dzikir pagi dan sore, dzikir-dzikir setelah shalat
fardhu, dzikir sebelum dan sesudah bangun tidur, do’a ketika masuk dan keluar
rumah, do’a ketika naik kendaraan, do’a ketika masuk dan keluar masjid, do’a
ketika masuk dan keluar kamar mandi, do’a ketika melihat orang yang mandapat
musibah, serta dzikir-dzikir lainnya.
Ibnul Qayyim berkata,”Sesungguhnya sihir para penyihir itu akan bekerja secara
sempurna bila mengenai hati yang lemah, jiwa-jiwa yang penuh dengan syahwat
yang senanantiasa bergantung kepada hal-hal rendahan. Oleh sebab itu, umumnya
sihir banyak mengenai para wanita, anak-anak, orang-orang bodoh, orang-orang
pedalaman, dan orang-orang yang lemah dalam berpegang teguh kepada agama, sikap
tawakkal dan tauhid, serta orang-orang yang tidak memiliki bagian sama sekali
dari dzikir-dzikir Ilahi, doa-doa, dan ta’awwudzaat nabawiyah.” [15]
7. Memakan tujuh butir kurma ‘ajwah setiap pagi hari. Berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ
عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ
الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ
"Barangsiapa yang makan tujuh butir kurma ‘ajwah pada setiap pagi, maka
racun dan sihir tidak akan mampu membahayakannya pada hari itu". [16]
Dan yang lebih utama, jika kurma yang kita makan itu berasal dari kota Madinah (yakni di antara dua kampung di kota Madinah), sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Muslim. Syaikh Abdul ’Aziz bin Baz berpendapat,
seluruh jenis kurma Madinah memiliki sifat yang disebutkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ini. Namun beliau juga berpendapat, bahwa
perlindungan ini juga diharapkan bagi orang yang memakan tujuh butir kurma, selain
kurma Madinah secara mutlak.[17]
TERAPI PENGOBATAN SETELAH TERKENA SIHIR [18]
1. Metode pertama : Mengeluarkan dan menggagalkan sihir tersebut jika diketahui
tempatnya dengan cara yang dibolehkan syariat. Ini merupakan metode paling
ampuh untuk mengobati orang yang terkena sihir.[19]
2. Metode kedua : Dengan membaca ruqyah-ruqyah yang disyariatkan. Para ulama telah bersepakat bolehnya menggunakan ruqyah
sebagai pengobatan apabila memenuhi tiga syarat [20].
Pertama : Hendaknya ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al
Qur`an), atau dengan Asmaul Husna atau dengan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla,
atau dengan doa-doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua : Ruqyah tersebut dengan menggunakan bahasa Arab, atau dengan bahasa
selain Arab yang difahami maknanya.
Ketiga : Hendaknya orang yang meruqyah dan yang diruqyah meyakini, bahwa ruqyah
tersebut tidak mampu menyembuhkan dengan sendirinya, tetapi dengan kekuasaan
Allah Azza wa Jalla. Karena ruqyah hanyalah salah satu sebab di antara
sebab-sebab diperolehnya kesembuhan. Dan Allah-lah yang menyembuhkan.
Selain itu, ada hal sangat penting yang juga harus diperhatikan, bahwa ruqyah
akan bekerja secara efektif bila orang yang sakit (terkena sihir) dan orang
yang mengobati sama-sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah Azza wa
Jalla, bertawakkal kepadaNya semata, bertakwa dan mentauhidkanNya, serta
meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Al Qur`an adalah penyembuh bagi penyakit
dan rahmat bagi orang-orang beriman. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka ruqyah
tersebut tidak akan berefek kepada penyakitnya, karena ruqyah itu sendiri
merupakan obat mujarab yang diajarkan oleh syari’at. Namun ibarat senjata,
setajam apapun ia, jika berada di tangan orang yang tidak lihai menggunakannya,
maka senjata itu tidak banyak manfaatnya.[21]
Dikatakan oleh Ibnu At Tiin: “Ruqyah dengan membaca mu’awwidzat atau dengan
nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan pengobatan rohani, (akan bekerja
efektif) bila di baca oleh hambaNya yang shalih; kesembuhan pun akan diperoleh
dengan izin Allah Azza wa Jalla “.
Diantara bentuk pengobatan yang termasuk metode kedua ini ialah sebagai
berikut:
- Membaca surat Al Fatihah, ayat kursi, dua ayat terakhir surat Al Baqarah,
surat Al Ikhlash, An Naas dan Al Falaq sebanyak tiga kali atau lebih dengan
mengangkat tangan, tiupkan ke kedua tangan tersebut seusai membaca ayat-ayat
tadi, kemudian usapkan ke bagian tubuh yang sakit dengan tangan kanan.[23]
- Membaca ta’awwudz (doa perlindungan diri) dan ruqyah-ruqyah untuk mengobati
sihir, di antaranya sebagai berikut:[24]
a. أسْألُ اللهَ العَظِيْمَ رَبَّ العَرْشِ
العَظِيْمِ أنْ يَشْفِيَكَ
"Aku mohon kepada Allah Yang Maha Agung Pemilik ‘Arsy yang agung agar
menyembuhkanmu (dibaca sebanyak tujuh kali)".[25]
b. Orang yang terkena sihir meletakkan tangannya pada bagian tubuh yang terasa
sakit, kemudian membaca: (بِسْمِ الله) sebanyak tiga kali lalu membaca :
أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا
أجِدُ وَ أحَاذِرُ
"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari setiap kejelekan yang
aku jumpai dan aku takuti". [26]
c. Mengusap bagian tubuh yang sakit sambil membaca doa :
اللهَُّمَ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ
وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ
إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
"Ya Allah, Rabb Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitku dan
sembuhkanlah, Engkau-lah Yang Menyembuhkan, tiada kesembuhan melainkan
kesembuhan dariMu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.[27]
d. Membaca doa:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ
غَضَبِهِ وَ عِقَابِهِ وَشَرِّ
عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ
"Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemarahanNya, dari
kejahatan hamba-hambaNya, dan dari bisikan-bisikan setan dan dari kedatangan
mereka kepadaku.
3. Metode ketiga : Mengeluarkan sihir tersebut dengan melakukan pembekaman pada
bagian tubuh yang terlihat bekas sihir, jika hal itu memang memungkinkan. Bila
tidak memungkinkan, maka ruqyah-ruqyah di atas telah mencukupi untuk mengobati
sihir.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan rahasia pembekaman di bagian yang terkena
sihir ini. Bahwa sihir itu tersusun dari pengaruh ruh-ruh jahat dan adanya
respon kekuatan alami yang lahir dari ruh jahat tersebut. Inilah jenis sihir
yang paling kuat, terutama pada bagian tubuh yang menjadi pusat persemayaman
sihir tadi. Maka pembekaman pada bagian tersebut merupakan metode pengobatan
yang sangat efektif bila dilakukan sesuai dengan cara yang tepat.[29]
4. Metode keempat : Dengan menggunakan obat-obatan alami sebagaimana disebutkan
Al Qur’an dan As Sunnah, dengan disertai keyakinan penuh terhadap kebenaran
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
yang menerangkannya. Di antaranya dengan menggunakan madu, habbahtus sauda`
(jinten hitam), air zam-zam, minyak zaitun dan obat-obatan lainnya yang
dibenarkan syara’ sebagai obat. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
الشِّفَاءُ فِي ثَلَاثَةٍ شَرْبَةِ عَسَلٍ
وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ
وَأَنْهَى أُمَّتِي عَنْ الْكَيِّ
"Pengobatan itu ada dalam tiga hal. (Yaitu): berbekam, minum madu dan
pengobatan dengan kay (besi panas). Sedangkan aku melarang umatku menggunakan
pengobatan dengan kay".[30
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
إِنَّ هَذِهِ الْحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ
مِنْ كُلِّ دَاءٍ إِلَّا مِنْ
السَّامِ قُلْتُ وَمَا السَّامُ قَالَ الْمَوْتُ
“Sesungguhnya habbah sauda’ ini merupakan obat bagi segala jenis penyakit,
kecuali as saam”. Aku (‘Aisyah) bertanya,”Apakah as saam itu?” Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kematian." [31]
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
ماَءُ زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
"Air zam-zam itu tergantung niat orang yang meminumnya". [32]
Dari Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
كُلُوا الزَّيْتَ وَادَّهِنُوا بِهِ فَإِنَّهُ
مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ
"Makanlah minyak zaitun dan minyakilah rambut kalian dengannya, karena
sesungguhnya ia berasal dari pohon yang diberkahi".[33]
Demikianlah sekilas pembahasan tentang sihir berikut cara mencegah dan
mengobatinya. Selayaknya bagi setiap pribadi muslim, terutama para pemimpin
keluarga, untuk mengetahui hal ini dan mengajarkan kepada keluarganya. Agar
anggota keluarga mampu membentengi diri dari kejahatan sihir. Selayaknya pula
bagi pemimpin keluarga, untuk mengkondisikan keluarganya agar senantiasa taat
kepada Allah Sang Pemelihara manusia. Membersihkan rumahnya serta menyingkirkan
sejauh-jauhnya dari segala sarana yang mengundang kemaksiatan, seperti musik,
majalah-majalah porno, gambar makhluk hidup dan sebagainya. Agar keluarganya mendapat
curahan rahmat dan perlindungan dari Allah, terjauhkan dari gangguan iblis dan
bala tentaranya. Wallahu waliyyut taufiiq. (Hanin Ummu Abdillah)
Maraji :
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Zaadul Ma’ad, tahqiq dan takhrij Syu’aib Al
Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth, Mu’assasah Ar Risaalah, Cet. III, Th.
1421H/200M.
2. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Ad Du’a Min Al Kitab Wa As Sunnah Wa
Yalihi Al ‘Ilaj Bi Ar Ruqaa Min Al Kitab Wa As Sunnah.
3. Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid, tahqiq
Muhammad Hamid Al Faqi, ta’liq Abdullah bin Baz, dan takhrij Ali bin Sinan,
Darul Fikr, Th. 1412H/1992M.
4. Shahih Al Bukhari bersama Fathul Bari.
5. Shahih Muslim.
6. Sunan Abu Dawud.
7. Jami’ At Tirmidzi.
8. Sunan Ibnu Majah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta ,
Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
0 comments:
Post a Comment